U/Cafe,Resto,Reseller
U/Cafe,Resto,Reseller
Class 105A—Kita memasuki topik baru untuk diskusi bisnis kita: Cara Pembagian Saham Usaha sejak didirikannya sebuah perusahaan.
Pada fase memulai perusahaan, seseorang akan menghitung secara cermat berapa modal yang diperlukan. Ia perlu memperkirakan nilai investasi peralatan, biaya produksi, total biaya-biaya awal dan perhitungan biaya operasional tahun pertama. Keseluruhan modal ini dapat dibagi menjadi modal materil (uang tunai) dan modal non-materil (keterampilan, ilmu pengetahuan).
Ada pula modal non-materil, biasanya berkaitan dengan keterampilan atau kemampuan manajemen. Modal non-materil datang dari individu pemodal awal yang tidak menyetorkan modal materil dalam bentuk uang. Yang mereka tawarkan adalah keterampilan yang berkaitan langsung dengan operasional nantinya, yang oleh pihak pemodal lain diterjemahkan dalam nominal rupiah. Seorang dengan modal non-materil biasanya dikenal dalam hal keterampilannya yang mumpuni, semisal chef untuk perusahaan kuliner atau resto, hospitality untuk perusahaan perhotelan, dan lain-lain. Tanpa adanya pemodal non-materil, modal materi terancam habis sia-sia karena tidak ada orang berkompeten untuk menjalankan bisnis.
| Temukan koleksi alat dapur premium untuk rumah/bisnis Anda di SerataFoods
Nah, sekarang, bagaimana pembagian saham antara pemodal dengan modal materil dan pemodal non-materil? Apa yang mereka sepakati ketika memutuskan untuk mendirikan perusahaan secara bersama-sama?
Kita pakai ilustrasi berikut:
Mereka lalu mendirikan PT. AyamKremes. Setelah melakukan diskusi, mereka menyepakati bahwa baik modal uang ataupun modal keterampilan memiliki nilai saham yang sama. Lalu, mereka sepakat pembagian saham adalah rata: 50% dan 50%. PT. AyamKremes melalui Akta Pendirian mengesahkan penerbitan 100 lembar saham, dan berdasarkan porsi saham mereka, tiap-tiap Adi maupun Budi berhak atas 50 lembar saham.
Sekarang, guna memajukan PT. AyamKremes mereka menyusun Business Plan yang memuat rencana operasi, strategi-strategi, dan juga proyeksi laba hingga setidaknya 5 tahun, memperkirakan valuasi perusahaan. Dalam praktik umumnya, valuasi atau nilai usaha dapat diambil berdasarkan proyeksi cash flow, termasuk potensi penghasilan perusahaan setidak-tidaknya 3 tahun ke depan. Dari proyeksi tersebut, mereka dapatkan potensi pendapatan per tahun, total laba per tahun, sehingga pada akhirnya terhitung sebagai valuasi perusahaan di tahun pertama. [Untuk perhitungan valuasi perusahaan secara cepat, silakan lihat link berikut: https://arkademi.com/menghitung-nilai-usaha/]
Valuasi ini adalah basis penetapan nilai lembar saham. Katakanlah, mereka menyepakati valuasi perusahaan adalah Rp1 miliar di tahun pertama. Dengan kesepakatan penerbitan saham sejumlah 100 lembar, dengan tiap-tiapnya memperoleh 50, maka Adi dan Budi memiliki kekayaan dalam bentuk saham senilai Rp500 juta/orang. Saat usaha restoran berjalan, sebagaimana kesepakatan, Adi bertanggung jawab dalam hal manajemen restoran, dapur, kebersihan, dan manajemen karyawan. Sementara Budi sebagai penyumbang modal memutuskan untuk tidak terlibat dalam operasional dan memilih menjalankan pekerjaannya yang lain.
Vesting Period adalah periode dalam tahun-tahun awal perusahaan, yang selama waktu ditentukan, tiap pemodal tidak boleh melepaskan kepemilikan saham mereka, baik sebagian, ataupun seluruhnya. Baik menjualnya senilai uang atau memberikannya secara cuma-cuma. Dalam hal ini Adi dan Budi menyepakati vesting period mereka adalah 3 tahun, dengan alasan untuk menghindari konflik, juga menunjukkan komitmen kepemilikan secara bertanggung jawab, terlepas apapun yang terjadi pada usaha. Durasi Vesting Period dapat ditentukan 3 atau 5 tahun, atau berapa lamapun, dan disahkan lewat Akta Pendirian. Secara legal tiap Pemodal sekaligus pendiri diikat oleh syarat vesting, dan keduanya wajib menghormati.
Cliff Period merupakan mekanisme pengikat baru investor (termasuk investor baru), yang tujuannya adalah menjaga loyalitas pemodal. Dalam mekanisme cliff, seorang pemodal baru dapat merasakan imbas sahamnya secara utuh setelah melewati periode tertentu, biasanya 5 tahun. Sebagai contoh, jika tahun pertama terlewati dengan baik, ia mendapatkan porsi saham 1/5 dari total saham yang dimilikinya. Setiap tahun bertambah porsi (tahun kedua menjadi 2/5, tahun ketiga 3/5, dan seterusnya), hingga porsi sahamnya utuh. Mekanisme ini juga untuk mengatur agar pemodal tidak buru-buru melepaskan sahamnya ke pihak lain.
Nah, restoran berjalan memasuki tahun ke-2, bisnis berkembang cepat. Hingga akhirnya suatu hari dengan kapasitas produksi restoran yang makin besar dan kebutuhan manajemen untuk peningkatan operasional dapur dan pelayanan pelanggan, Budi mengajukan penambahan manajer untuk membantu operasional.
Adi setuju, dan mereka mengajak seorang chef ternama yang nantinya akan ditunjuk sebagai manajer produksi atau PIC dapur, tugasnya membantu pekerjaan Budi yang nantinya fokus pada operasional restoran. Chef ini bernama Cici. Masalahnya, mereka tidak sanggup memenuhi syarat gaji tinggi yang diminta Cici yang notabene adalah seorang chef selebritas. Setelah berhari-hari diskusi, akhirnya Adi dan Budi menolak syarat Cici. Gaji tinggi ditolak, tetapi mereka mengajukan gaji standar plus saham sebesar 10%, yang diambil dari 5% saham mereka masing-masing. Cici setuju, dan dengan demikian ia turut menjadi Pemodal, dan digolongkan pula sebagai co-founder.
Jika sebelumnya Adi dan Budi sepakat untuk merelakan 5% saham mereka untuk diberikan menjadi total 10% kepada Cici, maka porsi saham mereka tidak otomatis terpotong menjadi tinggal 45% (45 + 45 + 10 = 100%). Mengapa? Tentu saja karena mereka tengah terikat vesting period, di mana saat ini baru memasuki tahun ke-2 dari 3 tahun periode mereka, dan berdasarkan ketentuan mereka tidak diperbolehkan memberikan atau menjual sahamnya kepada pihak manapun.
Lalu, bagaimana mereka memberikan saham 10% kepada sang Chef yang kini sudah menjadi Cici?
Dengan total saham PT. AyamKremes sebanyak 100 lembar, dan Adi dan Budi memutuskan memberikan 10% saham untuk merekrut Cici, maka 10% saham tersebut sama dengan 10 lembar saham. Karena vesting period tidak memungkinkan Adi dan Budi mengurangi porsi saham mereka dari 50 lembar, maka untuk mengakalinya, diterbitkanlah saham baru 10 lembar, yang nantinya akan diberikan kepada Cici sebagai pemodal baru. Sebanyak 10 lembar saham tadi lalu ditambahkan ke dalam saham awal 100, sehingga kini, dengan tiga pemodal, total saham PT. AyamKremes menjadi 110 lembar. Adi dan Budi tetap dengan 50 saham, sementara Cici memegang 10 lembar.
Persentase kepemilikannya pun berubah:
Tanpa penyertaan modal baru dan tanpa perubahan target usaha dalam business plan, valuasi PT. AyamKremes tetap Rp1 Miliar. Nah, dengan total lembar saham kini menjadi 110, maka harga per lembar saham pun turun, tidak lagi Rp10 juta (Rp1 Miliar/100), tetapi menjadi Rp9 juta (Rp1 Miliar/110).
Dengan demikian, jumlah kekayaan saham tiap-tiap pemodal pun berubah:
Inilah imbas dari pembagian porsi saham yang tetap, namun dipengaruhi jumlah pemilik modal yang bertambah.
Tapi dengan prinsip kehati-hatian dan demi memotivasi Cici untuk membuktikan performanya, mereka mengenakan cliff period atau masa percobaan selama 5 tahun bagi Cici. Dalam cliff period, selain tidak mendapatkan hak suara (voting right) dalam RUPS, Cici juga tidak berhak atas pembagian dividen setelah tutup buku tahun berjalan (dibahas lebih lanjut di bawah).
Restoran berjalan semakin cepat, kerjasama ketiga pemodal berjalan baik dan omset terus bertambah. Pada tutup buku akhir tahun kedua, restoran mencatat laba bersih Rp500 juta. Dengan 3 orang Pemodal, maka Rp500 juta ini dapat dibagi tiga mengikuti besaran saham, kan?
Tentu saja tidak.
Bisnis tetap harus berjalan. Jika laba dikuras habis, tidak akan ada uang yang dipakai untuk operasional tahun berikutnya, perekrutan karyawan baru, upgrade gedung, atau ekspansi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada akhir tahun memutuskan bahwa sejumlah Rp300 juta akan diambil sebagai modal kerja untuk tahun berikutnya dari hasil laba Rp500 juta, dan pembagian dividen untuk ketiga pemodal adalah sebagai berikut:
Total Dividen: Laba bersih Rp500 juta – Modal Usaha tahun berikutnya Rp300 juta = Rp 200 juta Dividen
Selain tidak mendapatkan hak suara (voting right) dalam RUPS, Cici yang terkena masa cliff juga tidak berhak atas pembagian dividen setelah tutup buku tahun berjalan. Artinya, setelah pembagian dividen di atas, walaupun memiliki 9% saham dengan nilai dividen Rp18 juta, ia tidak berhak mencairkan dananya hingga cliff period-nya yang 5 tahun tersebut berakhir. Dividen tertahan milik Cici ini dapat disimpan dalam kas perusahaan, atau digunakan sebagai modal operasional sesuai kesepakatan semua pemodal.
Jika Cici tidak lulus atau mengundurkan diri dalam cliff period, maka sisa dividennya secara otomatis akan menjadi milik Adi dan Budi.
Lancarnya bisnis perusahaan mendatangkan pundi-pundi rupiah baru. Omset naik, keuntungan pun ikut naik. Dalam bisnis restoran yang kompetisinya gampang-gampang susah, kreativitas menjadi kunci kelancaran bisnis.
Tahun ketiga memasuki kuartal II, seorang pemodal besar yang adalah bankir terkenal datang ke kantor restoran, dan menawarkan penyertaan modal kepada manajemen sebesar Rp1 miliar. Tentu angka yang besar bagi Adi, Budi, dan Cici yang bergerak sebagai pengelola utama selama kurang lebih dua tahun terakhir. Setelah diingat-ingat, modal uang mereka di awal cuma Rp100 juta. Nah sekarang ini, ada tawaran modal 10 kali lipat dari modal awal. Modal penting untuk membuka cabang-cabang baru.
Akan tetapi, juga membawa tanggung jawab yang besar. Di samping itu, tentunya sang bankir (sebut saja Doni) tidak ingin rugi dari penanaman uangnya, dan menginginkan tawaran balik yang menguntungkan. Setelah berdiskusi internal, Adi, Budi, dan Cici sepakat untuk memberikan 20% saham untuk Rp1 miliar kepada Doni. Dengan demikian, cash flow perusahaan ikut berubah. Jika Doni menyetujui porsi saham tersebut, maka manajemen wajib membeberkan berapa nilai rupiah dari kepemilikan 20% saham itu.
Rencana kerja atau business plan baru pun disusun dengan proyeksi laba dan keuntungan yang baru pula, mengikutsertakan modal Rp1 miliar yang sudah diterima dari Doni.
Untuk mengetahui besaran rupiah dari porsi saham Doni, semuanya harus menyetujui valuasi perusahaan kini tidak lagi Rp1 miliar (dari modal awal Rp100 juta). Setelah beberapa perhitungan, valuasi perusahaan bergerak tinggi menjadi Rp10 miliar. Dan dengan permintaan 20% saham baru untuk Dani, perusahaan menambahkan jumlah lembar saham ke dalam saham awal yang hanya 110 lembar.
Total lembar saham akan menjadi:
Dengan titik valuasi baru sebesar Rp10 miliar, dan dengan total saham sebanyak 132 lembar, maka harga per saham kini berada di titik Rp75.757.757. Nah, dengan demikian, nilai rupiah untuk 22 lembar saham milik Doni adalah Rp1.666.670 atau Rp1,6 miliaran. Dan karena komposisi saham kini berjumlah menjadi total 132 lembar, persentase saham baru secara lengkap adalah:
Sesuai kesepakatan, vesting dan cliff period juga ditetapkan bagi Doni, sehingga ia tidak boleh memindah-tangankan sahamnya ke pihak manapun, dan juga belum boleh mencairkan dividennya hingga paling lama 5 tahun ke depan.
Dalam kasus ketika salah seorang pemodal keluar dan hendak menjual sahamnya ke orang lain, namun belum melewati vesting period, maka nilai saham yang ia peroleh pun akan dipotong. Dalam hal ini, Budi keluar dengan alasan kesehatan dan tak sanggup lagi menangani manajemen dapur, ataupun terlibat dalam bisnis resto secara keseluruhan. Ia menjual kepemilikan sahamnya kepada orang lain, rekannya yang seorang desainer. Perusahaan menerima keputusannya.
Budi melimpahkan sahamnya kepada sang desainer (yang untuk selanjutnya menjadi Eki), sebesar 50 saham. Akan tetapi, Budi baru 80% menjalani vesting period mereka yang tiga tahun, maka besaran saham yang berhak ia ambil tidaklah utuh, tetapi hanya sebesar 40 lembar (80% x 50). Dengan harga acuan terakhir sahamnya adalah Rp75.757.757 yang kemudian disetujui oleh Eki, maka dalam hal ini Budi melenggang keluar perusahaan dengan membawa kekayaan total 40 x Rp75.757.757 = Rp3.030.310.280. Selama hampir tiga tahun berkongsi di restoran ini, kekayaannya telah naik berkali-kali lipat, tanpa menyertakan modal uang di awal.
Perusahaan menyambut hangat Eki sebagai pengganti Budi yang keluar. Bisnis berjalan lagi dan semuanya baik-baik saja. Hingga, manajemen menyadari bahwa terdapat sisa saham yang tidak dibawa pergi Budi, akibat pelanggaran terhadap masa vesting-nya. Saham awalnya yang 50 lembar, dikurangi saham yang ia bawa 40 lembar, menyisakan saham tak bertuan sebanyak 10 lembar. Saham tak bertuan atau sering disebut “Saham Kosong” ini otomatis diserap menjadi milik perusahaan.
Dalam RUPS berikutnya, jajaran komisaris dan direksi harus menyepakati akan digunakan untuk apa saham kosong ini, apakah dilakukan penambahan ke dalam modal kerja, ditawarkan lagi kepada pemodal yang ada, ditawarkan lagi ke pihak baru, atau tetap disimpan sebagai saham kosong. Saham Kosong dapat pula dijadikan employee stock ownership plan (ESOP), sebuah skema benefit yang kerap dipakai oleh BUMN untuk membahagiakan para karyawannya. Saham ini ditawarkan secara terbuka dan dapat dibeli oleh pihak internal mana saja. Saham ini juga dapat dialihfungsikan menjadi bonus tahunan karyawan atau manajemen tanpa syarat yang mengikat.
Berikut adalah komposisi saham terakhir:
Setelah 4 tahun, brand restoran PT. AyamKremes makin terkenal dan diliput banyak media. Jauh di seberang pulau, seorang pemilik grup restoran multinasional merasakan ketertarikan untuk mengakuisisi atau membeli PT. AyamKremes. Ia merasa bahwa daya tarik masyarakat terhadap produk dan layanan restoran tersebut dapat membantu grup bisnisnya yang kini dikenal kuno dan butuh pembaruan. Maka, ia pun menyeberang pulau dan mendatangi pemilik PT. AyamKremes.
Setelah duduk bersama dengan para pemilik modal dan manajemen, sang pemilik grup memberi tawaran harga akuisisi sebesar Rp10 miliar untuk keseluruhan brand, karyawan, manajemen, serta aset PT. AyamKremes. Baik Adi, Cici, Doni dan Eki sudah sama-sama sepakat untuk melepas porsi saham mereka. Dan terlebih lagi, vesting period yang sudah habis membebaskan mereka untuk menjual semua saham tersebut. Mereka bersepakat untuk melakukan exit, yakni proses likuidasi total saham yang dimiliki menjadi uang.
Valuasi terakhir perusahaan adalah Rp10 miliar. Namun dengan berbagai presentasi dan negosiasi, mereka dapat meyakinkan sang pemilik grup untuk menawarkan harga jauh lebih tinggi, yakni Rp12 miliar. Nilai tersebut disetujui dengan syarat: brand perusahaan dimodifikasi dengan tambahan kata-kata “bagian dari grup X”, dan semua visual publikasi restoran disamakan dengan tema grup.
Karena telah memutuskan untuk exit, maka semua pemodal PT. AyamKremes sekarang mengalami “panen untung”, karena valuasi perusahaan yang ikut naik. Valuasi baru Rp12 miliar yang dijual bersama-sama kini dapat dicairkan, ikut berpengaruh pada besaran kekayaan yang mereka bawa pergi, sebagai berikut:
Hasil RUPS terakhir mereka sebelum exit juga berkewajiban mengalirkan sisa Saham Kosong yang tidak mereka klaim. Karena tak bertuan, Saham Kosong tersebut dapat dibagikan kepada karyawan restoran, para manajer menengah atau dikombinasikan menjadi bonus tahunan sebelum mereka hengkang.
| Terima kasih kepada Arkademia, untuk ide bisnisnya.
| Temukan koleksi alat dapur premium untuk rumah/bisnis Anda di SerataFoods
Begitu memutuskan untuk exit, mereka secara otomatis melepaskan tanggung jawab manajerial dan komisaris kepada pemilik baru. Kecuali, sang pemilik grup yang membeli tadi hendak menahan satu atau dua orang dari mereka menjadi manajer. Keduanya tetap masuk mendapatkan benefit dan hasil dari pembagian saham kosong tadi, tetapi tidak lagi memiliki porsi saham.
Demikian penjelasan singkat tentang cara pembagian saham usaha sejak pendirian, hingga fase exit.
Komentar
Leave a comment